Picture
This is my "real" world.

I drive 11 km every morning to teach.
It takes me 1.5 hour to reach school.
Yes, the traffic drives me crazy.
It is comparable only to Bangkok and the heart of Calcuta.


I waste my productive time in the car.
I overconsume scarce fossil fuel.
I leave immense amount of carbon footprint on earth.
I spend more money for gas than for my professional development.

This is the physical world that we think is the only real world we live in. This is a physical reality that we think is always better than virtual reality. Do we still think that it is worthed to waste our life in a traffic as long as it is coherent to our limited definition of reality?

Of course, tomorrow I have to wake up in the morning and spend hours on the road again to teach, something that I mostly can do in virtual world with just 5 seconds teleport. Do you still question why I love teaching in Virtual World?

 
Picture
Hari Pendidikan Nasional                                                Selamat kau berikan kepada siapa?


Masih banyak pejabat yang tidak berfitrah, yang memperkaya diri dengan berbagai cara, yang membuat pendidikan menjadi tidak murah, yang merampas hak dasar rakyatnya.


Hari Pendidikan Nasional                                                Selamat kau berikan kepada siapa?

Masih banyak pendidik yang tidak berkualitas, yang tahunya hanya menuruti perintah dari atas, yang mengajar dengan malas, yang menilai pendidikan tidak lebih dari sebuah angka di atas kertas.

Hari Pendidikan Nasional                                                                                           Selamat kau berikan kepada siapa?

Masih banyak masyarakat yang terbelenggu kemiskinan dan kebodohan, yang menyamakan pendidikan dengan nilai ujian, yang tidak sadar mereka memiliki kemandirian, yang tidak mau berperan melakukan perubahan.


Hari Pendidikan Nasional
Selamat kau berikan kepada siapa?

Masih ada pejabat, pendidik dan masyarakat yang menyadari besarnya peran mereka bagi pendidikan dan kemajuan bangsa, yang menolak merusak dan mengeksploitasi saudara setanah airnya, yang menyadari pendidikan berkualias hanya bisa dicapai dengan tekad dan usaha ,yang bekerja demi cita-cita bersama. Ucapkan selamat kepada meraka.


(Tulisan ini saya dedikasikan kepada teman-teman yang berjuang menyediakan pendidikan berkualtias bagi anak-anak sendiri dan orang lain dalam keterbatasan dan tekanan sekalipun. Mbak Priscilla Ivonne, terima kasih atas kunjungan dan inspirasinya.)








 
Picture
A few weeks a go, I went to a Mathematics workshop by Dr.Yeap Ban Har from Nanyang Technological University of Singapore.  He is a hillarious person and always gives a fresh insights in teaching Mathematics to children so I didn't want to miss the chance to hear his lecture again.

I knew I would be stuck in a traffic jam on my way to downtown Jakarta so I went early at 7 AM. The workshop venue was just about 25 km from my home in a suburb outside Jakarta but it took me 2 hours to reach there by car. 

The workshop lasted for two hours and I decided to go straight home after that. When I got out of the basement parking lot, the downpour showered my car right away. The road was flooded everywhere on my way. It took me almost 4 hours to drive home in a snail pace. 

When I was driving in a huge and deep puddle of Jakarta, I thought 'I wish I could just teleport' like what I always do in Second Life. I often hear people in Indonesian education community skeptically say that distance workshop and learning in virtual world (VW) like 3D VW platform Second Life does not make sense. Does it make sense to spend 6 hours of drive and US$ 30 gas to attend just 2 hours workshop? (Have I mentioned that my car needed an overhaul because of the flood?)  Does it make sense to waste so many resources and leave so many carbon footprints to get a new knowledge that we can get in other ways?

(Dr.Yeap, please create an avatar ^_^) 

  
 
Picture
Bagaimana memaknai semboyan 'Bhineka Tunggal Ika'? Tanyakan saja kepada keluarga pelaku pendidikan rumah di Tangerang. Meskipun berbeda-beda, kita tetap satu. Satu tujuan untuk memberikan pendidikan terbaik buat anak-anak tercinta dan satu cita-cita untuk memajukan pendidikan di Indonesia dan memperluas akses pendidikan berkualitas bagi siapa saja. 

Sebuah bangsa akan menjadi kuat kalau keluarga kuat. Sebuah bangsa akan menjadi bangsa yang besar kalau keluarga perduli terhadap pendidikan anak-anaknya. Indonesia beruntung punya keluarga-keluarga mandiri yang mau mendidik anak-anak mereka sendiri, mendidik generasi penerus yang akan terus melanjutkan kelangsungan hidup Indonesia.
 
Apakah lacur kalau keluarga mandiri yang tidak pernah meminta-minta uang dari negara ini ternyata masih terkena 'palak' dari berbagai oknum RAKUS padahal mereka menghormati amanat negara dengan mengikutkan anak-anak mereka menempuh ujian yang diselenggarakan pemerintah? Pak menteri, sebentar lagi kita akan bertemu dan saya dengan senang hati akan menunjukkan kepada Bapak siapa-siapa saja tukang palak tersebut.

Indonesia akan terus menjadi bangsa kelas TIGA kalau di dunia pendidikannya serigala berbulu domba masih merajalela. Ayo terus berbhineka tunggal ika! Berbeda-beda tetapi satu tujuan.

(Mbak Gita, terima kasih atas undangannya) 
 
Picture
Malam itu sahabat saya, Joe, dari Korea Selatan yang selama ini mendanai berdirinya community learning center untuk anak-anak tidak mampu di perkampungan kumuh di Bekasi, Jakarta dan Bandung menelpon saya:
Joe  : "Ines, I am sending my teachers to your house tomorrow. Please train them."
Saya: "What? Excuse me...Did I hear you wrong? Tomorrow?"
Joe  : "I know it's kind of sudden but the teachers from Bandung are already in Bekasi. We cannot reschedule, please make time for them. They really want to see you."
Saya: "What do you want me to do with them? And how many of them exactly?"
Joe  : "16 of them. First of all, please discuss the legal issues with them. Then...you take care of the rest."
Begitulah kronologis pemaksaan itu terjadi. Karena tidak ada pilihan maka mau tidak mau saya tetap harus menyambut guru-guru dari community learning center teman saya ini.

Karena kurang enak badan, pagi itu saya menunggu para guru tersebut dengan kurang bersemangat. Saya sungguh berharap acara hari itu dibatalkan. Jam 10 pagi tepat, 2 mobil berhenti di depan rumah saya dan dari dalam mobil itu turunlah guru-guru dengan wajah super ceria meskipun semuanya bersimbah keringat karena duduk berhimpitan dan kepanasan di dalam mobil. Begitu memasuki rumah, semua langsung duduk di lantai dan membuka buku catatan. Saya terkesima. Sebegitu pentingnya pertemuan ini bagi mereka sehingga mereka membawa buku catatan. Saya jadi malu karena tidak menganggap pertemuan pagi itu sebagai pertemuan penting bagi saya.

Sesi pertama saya berbagi mengenai masalah landasan hukum jalur pendidikan informal dan non formal. Mereka mencatat.
Sesi kedua saya berbagi mengenai metode-metode mengajar yang membebaskan. Mereka bertanya.
Sesi ketiga mereka berbagi cerita dan pengalaman mereka mengajar selama ini. Saya terpana dan terpesona.

Begitu banyak hal yang telah mereka lalui dan lakukan yang tidak pernah saya alami di sekolah menara gading. Dari anak yang rambutnya berkutu sampai orangtua yang sering memukul anaknya sehingga anaknya menjadi tidak normal. Belum lagi orangtua yang menolak untuk mengirimkan anak-anaknya belajar dan mengamuk di learning center.

Tidak terasa 5 jam waktu berdiskusi berlalu dengan cepat. Seorang guru menyeletuk "senang akhirnya bisa belajar dari guru benaran." Hati saya tersentuh, begitu rendah hatinya mereka sehingga tidak menyebut diri mereka guru yang sesungguhnya. Padahal,
                                                          2 teach
                                                          2 touch life +
                                                          ------------
                                                          4 ever
dan mereka adalah guru-guru sejati karena kasih sayang dan kerelaan mereka untuk mengajar anak-anak yang tersingkirkan ini akan mengubah hidup anak-anak ini selamanya.

I am so proud of you all. Kalau ada oknum diknas atau makelar-makelar ijasah yang menghalangi anak-anak ini untuk bisa mengikuti ujian kesetaraan dan memeras, kita akan menghadapinya bersama. We fear NOTHING!


    Picture

    Me as an Advocate

    - As an education advocate in my country, Indonesia, I am not as cute as my avatar.

    - My writings are both loved and hated by many.

    - My volunteer works in underdeveloped schools and community learning centers are cherished and despised.

    - I can be good friends with vampires and furries but I cannot be friends with real life griefers who steal the rights of the children to get the education they deserve.

    - I often get troubles in RL because of my works and writings. Sometimes I wish I could just teleport those RL griefers to an eternal laggy sim.

    Archives

    Oktober 2011
    Mai 2011
    März 2011
    Februar 2011
    November 2010
    September 2010
    August 2010
    Juli 2010

    Categories

    Alle
    First Life
    Second Life